Tuesday, September 10, 2013

Kehidupan: Ideologi & Realita (Life: Ideology & Reality)

Awalnya saya hanya iseng melamun, eh lama-lama jadi kepikiran. Oleh sebab saya menonton sebuah acara di televisi, saya jadi bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupan di dunia ini berjalan. Seorang mengatakan bahwa apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Seorang lagi mengatakan perbuatlah kepada orang lain apa yang ingin engkau terima dari mereka. Sebagian percaya bahwa nasib bisa diubah, namun sebagian lagi tidak. Sebagian meyakini bahwa segala kemalangannya akan tergantikan dengan kebahagiaan. Sebagian lagi hanya mengutuki kemalangan yang tidak pernah menjauh pergi dari hidupnya.

Ada yang bilang bahwa kehidupan ini seperti roda yang yang berputar maju. Ada kalanya kehidupan seseorang berada di titik terendah, ada kalanya kehidupan mereka berada di titik tertinggi. Ada juga yang bilang bahwa kehidupan yang sukses itu ditentukan oleh seberapa besar usaha seseorang untuk menggapainya. Namun tidak sedikit juga yang tidak percaya tentang kedua hal tersebut. Well, saya tidak mampu membenarkan atau menyalahkan siapapun. Karena toh kenyataannya memang ada orang yang sukses tanpa berusaha banyak. Tidak percaya? Contohnya, orang yang dilahirkan di keluarga multi-miliuner. Apakah semasa hidupnya dia pernah merasakan yang namanya hidup miskin? Tidak. Contoh lainnya, seorang yang mendadak menjadi miliuner karena menang undian. Apakah dia bekerja keras untuk sekedar mengambil nomor undian? Tidak. Contoh lainnya lagi, seorang tukang becak merangkap pemulung yang tidak pernah beranjak dari kemiskinannya walau begitu besarnya usaha yang dilakukan. Bayangkan, pagi hingga siang menjadi tukang  becak, sore hingga malam menjadi pemulung. Namun, tetap saja tangan emas tidak pernah menyentuh kehidupannya. Dari ketiga contoh tersebut, apakah kehidupan seperti roda yang berputar maju atau tidak, saya tidak tahu.

Seorang teman pernah berkata pada saya begini, “Matt, hidup itu berjalan dan nasib pasti berubah. Dia boleh menderita di dunia, tapi Tuhan akan menggantikan deritanya dengan bahagia suatu hari kelak.” Well, kalau kata anak-anak jaman sekarang, "Hellooow, sumpe demi ape lo?!"  Apakah dia tidak melihat realita sosial yang tengah terjadi? Ataukah karena hidupnya berada? Ataukah hanya karena dia ingin dianggap seorang religius? Hah! Jika demikian, semua itu hanya omong kosong. Lalu, bagaimana jika ternyata nasibnya tidak berubah? Siapakah yang salah? Tuhan-kah yang ingkar janji apabila penderitaannya tak berakhir hingga akhir hayatnya? Saya tidak mencoba bersikap sinis apalagi mencoba menentang, hanya mempertanyakan alasan mengapa kata-kata tersebut terucap.

Ketika saya tunjukkan padanya realita yang terjadi, bahwa yang miskin tetap miskin dan yang kaya tetap kaya, dia menjawab, “Dia miskin karena dia tidak pernah bersyukur akan hidupnya.” Wheew.. Kalau kata Mr. Tukul, AMAZING!! Saya sedikit tersinggung dengan kata-katanya tersebut yang seolah berkata bahwa seseorang miskin karena tidak bersyukur. Betapa tidak, hanya karena dia miskin bukan berarti dia tidak pernah bersyukur! Banyak orang kaya di luar sana juga lebih tidak bersyukur akan hidupnya, namun tetap kaya. Tidak percaya? Contoh! Berapa banyak pengusaha yang taat membayarkan zakat/perpuluhan sesuai dengan ketentuan? Berapa banyak orang berada di luar sana yang rajin memberikan bantuan ataupun sumbangan bagi sesama yang membutuhkan? Berapa banyak orang berada di luar sana yang rajin beribadah setiap hari? Anda yang sebutkan angkanya! Bagi saya, bersyukur itu sebuah kewajiban ciptaan terhadap Penciptanya. Bersyukur tidak ada hubungannya dengan pertambahan harta.

Lain hari, lain cerita. Hari ini saya bertemu teman saya yang lain. Setelah berbincang cukup lama, keluar celetukan darinya demikian, “Yaah Matt, namanya manusia.. Tidak akan pernah ada cukupnya.” Jika kata-kata tersebut sudah keluar, pasti Anda dapat menebak hal apa yang sebelumnya kami bicarakan? Haha.. Fakta tersebut benar, bahwa keinginan manusia memang tak terbatas. Manusia selalu ingin yang lebih lagi dari yang telah dia miliki. Manusia selalu ingin memiliki harta yang lebih dari yang dia miliki saat ini, kedudukan yang lebih tinggi lagi, dan sebagainya. Hanya sedikit yang memahami bahwa dulu mereka pernah cukup dengan apa yang saat itu mereka miliki. Mereka pernah hidup cukup dengan hanya makan dua kali sehari dengan menu sederhana. Mereka pernah hidup cukup dengan hanya menaiki kendaraan umum. Mereka pernah hidup cukup dengan pendapatan bulanan mereka. Hahaha.. Hidup oh hidup.. betapa susahnya dimengerti.

Oh tunggu dulu! Ya, Anda benar. Mereka tidak salah ketika berjuang untuk mendapatkan yang lebih lagi dalam hidup mereka. Mereka tidak salah ketika ingin mendapatkan pendapatan yang lebih dari sekarang. Mereka tidak salah ketika berbuat demikan. Mereka hanya salah ketika mereka tidak bersyukur dengan apa yang mereka miliki. Mereka mengeluh akan kebutuhan hidupnya yang terus meningkat. Padahal mereka tidak sadar bahwa yang meningkat adalah KEINGINAN mereka. Mereka tidak menyadari bahwa begitu banyak orang yang masih hidup dengan pendapatan dibawah pendapatan mereka. Orang-orang yang hidup sebagai buruh tani dengan upah Rp 45.000,- per hari, dengan anak dan istri. Orang-orang yang hidup sebagai nelayan dengan penghasilan tak pasti setiap harinya. Orang-orang yang kita anggap hidupnya kurang mampu, padahal nyataya mereka cukup.

Ah! Betapa saya ingin menunjukkan hal ini kepada teman saya yang lain. Saya ingin menunjukkan padanya bahwa ia salah, telah menganggap orang tetap miskin karena tidak pernah bersyukur. Saya ingin menunjukkan padanya bahwa orang kaya pun pun juga banyak yang tidak bersyukur. Saya ingin mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara bersyukur dan pertambahan kekayaan! Betapa piciknya dunia, yang beranggapan demikian.

Atasan saya pernah berkata, “Lebih baik kurang tapi cukup, daripada cukup tapi kurang.” Anda mengerti maksudnya? Sama, saya juga tidak, awalnya! Saya hanya mengerti sebagian. yaitu bahwa walaupun sebenarnya apa yang kita miliki kurang, namun apabila kita dapat mencukupkan diri dengan apa yang kita miliki, sesungguhnya itu lebih baik dibandingkan dengan orang yang berkecukupan tetapi selalu merasa kurang. Tetapi ketika saya berfikir lebih dalam lagi, saya teringat akan sebuah doa yang berkata,

… Berikanlah kami, pada hari ini. makanan kami yang secukupnya ...

Dalam doa tersebut terkandung makna yang begitu dalam. Kata ‘yang secukupnya’ bukanlah dalam artian ‘cukup’ menurut manusia, tapi menurut Yang Kuasa. Ketika seseorang tidak makan karena tidak ada uang untuk membeli makanan, apakah berarti Tuhan tidak menjawab doanya? Sekali-kali tidak. Tidak makan kemarin dan hari ini masih hidup itu berarti Tuhan mencukupkan kebutuhan hidupnya. Tuhan mencukupkan apa yang ada padanya sehingga ia tetap hidup walau kemarin ia tidak makan. Tuhan mencukupkan berkatNya pada orang itu walau di mata manusia, orang itu hidup berkekurangan dan saya mengimaninya.

Akhirnya, dari semua kotaran dalam pikiran dan benak saya yang tertumpah dalam tulisan ini, saya tetap tidak mengerti apakah kehidupan seperti roda yang berputar maju ataukah tidak. Saya tidak mengerti mengapa hukum tabur-tuai (karma) tidak berjalan dengan semestinya. Saya juga tidak mengerti mengapa yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin, meski beberapa diantara yang miskin ada yang menjadi kaya dan sebaliknya. Tetapi satu hal yang saya pahami dengan pasti, yaitu kesuksesan di dunia sungguh benar-benar tidak ada hubungannya dengan kesuksesan di akhirat nanti. Sekian unek-unek saya, terima kasih karena telah membagi waktu Anda untuk membaca tulisan yang tidak penting ini. Sampai jumpa di kotoran pikiran saya selanjutnya!


Salam,
Monyet Pendek

No comments:

Post a Comment