Awalnya saya hanya iseng melamun, eh lama-lama jadi kepikiran.
Oleh sebab saya menonton sebuah acara di televisi, saya jadi
bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupan di dunia ini berjalan.
Seorang mengatakan bahwa apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai.
Seorang lagi mengatakan perbuatlah kepada orang lain apa yang ingin
engkau terima dari mereka. Sebagian percaya bahwa nasib bisa diubah,
namun sebagian lagi tidak. Sebagian meyakini bahwa segala kemalangannya
akan tergantikan dengan kebahagiaan. Sebagian lagi hanya mengutuki
kemalangan yang tidak pernah menjauh pergi dari hidupnya.
Ada
yang bilang bahwa kehidupan ini seperti roda yang yang berputar maju.
Ada kalanya kehidupan seseorang berada di titik terendah, ada kalanya
kehidupan mereka berada di titik tertinggi. Ada juga yang bilang bahwa
kehidupan yang sukses itu ditentukan oleh seberapa besar usaha seseorang
untuk menggapainya. Namun tidak sedikit juga yang tidak percaya tentang
kedua hal tersebut. Well, saya tidak mampu membenarkan atau menyalahkan siapapun. Karena toh
kenyataannya memang ada orang yang sukses tanpa berusaha banyak. Tidak
percaya? Contohnya, orang yang dilahirkan di keluarga multi-miliuner.
Apakah semasa hidupnya dia pernah merasakan yang namanya hidup miskin?
Tidak. Contoh lainnya, seorang yang mendadak menjadi miliuner karena
menang undian. Apakah dia bekerja keras untuk sekedar mengambil nomor
undian? Tidak. Contoh lainnya lagi, seorang tukang becak merangkap
pemulung yang tidak pernah beranjak dari kemiskinannya walau begitu
besarnya usaha yang dilakukan. Bayangkan, pagi hingga siang menjadi
tukang becak, sore hingga malam menjadi pemulung. Namun, tetap saja
tangan emas tidak pernah menyentuh kehidupannya. Dari ketiga contoh
tersebut, apakah kehidupan seperti roda yang berputar maju atau tidak,
saya tidak tahu.
Seorang teman pernah berkata pada saya
begini, “Matt, hidup itu berjalan dan nasib pasti berubah. Dia boleh
menderita di dunia, tapi Tuhan akan menggantikan deritanya dengan
bahagia suatu hari kelak.” Well, kalau kata anak-anak jaman
sekarang, "Hellooow, sumpe demi ape lo?!" Apakah dia tidak melihat
realita sosial yang tengah terjadi? Ataukah karena hidupnya berada?
Ataukah hanya karena dia ingin dianggap seorang religius? Hah! Jika
demikian, semua itu hanya omong kosong. Lalu, bagaimana jika ternyata
nasibnya tidak berubah? Siapakah yang salah? Tuhan-kah yang ingkar janji
apabila penderitaannya tak berakhir hingga akhir hayatnya? Saya tidak
mencoba bersikap sinis apalagi mencoba menentang, hanya mempertanyakan
alasan mengapa kata-kata tersebut terucap.
Ketika saya
tunjukkan padanya realita yang terjadi, bahwa yang miskin tetap miskin
dan yang kaya tetap kaya, dia menjawab, “Dia miskin karena dia tidak
pernah bersyukur akan hidupnya.” Wheew.. Kalau kata Mr. Tukul, AMAZING!!
Saya sedikit tersinggung dengan kata-katanya tersebut yang seolah
berkata bahwa seseorang miskin karena tidak bersyukur. Betapa tidak,
hanya karena dia miskin bukan berarti dia tidak pernah bersyukur! Banyak
orang kaya di luar sana juga lebih tidak bersyukur akan hidupnya, namun
tetap kaya. Tidak percaya? Contoh! Berapa banyak pengusaha yang taat
membayarkan zakat/perpuluhan sesuai dengan ketentuan? Berapa banyak
orang berada di luar sana yang rajin memberikan bantuan ataupun
sumbangan bagi sesama yang membutuhkan? Berapa banyak orang berada di
luar sana yang rajin beribadah setiap hari? Anda yang sebutkan angkanya!
Bagi saya, bersyukur itu sebuah kewajiban ciptaan terhadap Penciptanya.
Bersyukur tidak ada hubungannya dengan pertambahan harta.
Lain
hari, lain cerita. Hari ini saya bertemu teman saya yang lain. Setelah
berbincang cukup lama, keluar celetukan darinya demikian, “Yaah Matt,
namanya manusia.. Tidak akan pernah ada cukupnya.” Jika kata-kata
tersebut sudah keluar, pasti Anda dapat menebak hal apa yang sebelumnya
kami bicarakan? Haha.. Fakta tersebut benar, bahwa keinginan manusia
memang tak terbatas. Manusia selalu ingin yang lebih lagi dari yang
telah dia miliki. Manusia selalu ingin memiliki harta yang lebih dari
yang dia miliki saat ini, kedudukan yang lebih tinggi lagi, dan
sebagainya. Hanya sedikit yang memahami bahwa dulu mereka pernah cukup
dengan apa yang saat itu mereka miliki. Mereka pernah hidup cukup dengan
hanya makan dua kali sehari dengan menu sederhana. Mereka pernah hidup
cukup dengan hanya menaiki kendaraan umum. Mereka pernah hidup cukup
dengan pendapatan bulanan mereka. Hahaha.. Hidup oh hidup.. betapa
susahnya dimengerti.
Oh tunggu dulu! Ya, Anda benar.
Mereka tidak salah ketika berjuang untuk mendapatkan yang lebih lagi
dalam hidup mereka. Mereka tidak salah ketika ingin mendapatkan
pendapatan yang lebih dari sekarang. Mereka tidak salah ketika berbuat
demikan. Mereka hanya salah ketika mereka tidak bersyukur dengan apa
yang mereka miliki. Mereka mengeluh akan kebutuhan hidupnya yang terus
meningkat. Padahal mereka tidak sadar bahwa yang meningkat adalah
KEINGINAN mereka. Mereka tidak menyadari bahwa begitu banyak orang yang
masih hidup dengan pendapatan dibawah pendapatan mereka. Orang-orang
yang hidup sebagai buruh tani dengan upah Rp 45.000,- per hari, dengan
anak dan istri. Orang-orang yang hidup sebagai nelayan dengan
penghasilan tak pasti setiap harinya. Orang-orang yang kita anggap
hidupnya kurang mampu, padahal nyataya mereka cukup.
Ah!
Betapa saya ingin menunjukkan hal ini kepada teman saya yang lain. Saya
ingin menunjukkan padanya bahwa ia salah, telah menganggap orang tetap
miskin karena tidak pernah bersyukur. Saya ingin menunjukkan padanya
bahwa orang kaya pun pun juga banyak yang tidak bersyukur. Saya ingin
mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara bersyukur dan pertambahan
kekayaan! Betapa piciknya dunia, yang beranggapan demikian.
Atasan
saya pernah berkata, “Lebih baik kurang tapi cukup, daripada cukup tapi
kurang.” Anda mengerti maksudnya? Sama, saya juga tidak, awalnya! Saya
hanya mengerti sebagian. yaitu bahwa walaupun sebenarnya apa yang kita
miliki kurang, namun apabila kita dapat mencukupkan diri dengan apa yang
kita miliki, sesungguhnya itu lebih baik dibandingkan dengan orang yang
berkecukupan tetapi selalu merasa kurang. Tetapi ketika saya berfikir
lebih dalam lagi, saya teringat akan sebuah doa yang berkata,
“… Berikanlah kami, pada hari ini. makanan kami yang secukupnya ...”
Dalam
doa tersebut terkandung makna yang begitu dalam. Kata ‘yang secukupnya’
bukanlah dalam artian ‘cukup’ menurut manusia, tapi menurut Yang Kuasa.
Ketika seseorang tidak makan karena tidak ada uang untuk membeli
makanan, apakah berarti Tuhan tidak menjawab doanya? Sekali-kali tidak.
Tidak makan kemarin dan hari ini masih hidup itu berarti Tuhan
mencukupkan kebutuhan hidupnya. Tuhan mencukupkan apa yang ada padanya
sehingga ia tetap hidup walau kemarin ia tidak makan. Tuhan mencukupkan
berkatNya pada orang itu walau di mata manusia, orang itu hidup
berkekurangan dan saya mengimaninya.
Akhirnya, dari semua
kotaran dalam pikiran dan benak saya yang tertumpah dalam tulisan ini,
saya tetap tidak mengerti apakah kehidupan seperti roda yang berputar
maju ataukah tidak. Saya tidak mengerti mengapa hukum tabur-tuai (karma)
tidak berjalan dengan semestinya. Saya juga tidak mengerti mengapa yang
kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin, meski beberapa diantara
yang miskin ada yang menjadi kaya dan sebaliknya. Tetapi satu hal yang
saya pahami dengan pasti, yaitu kesuksesan di dunia sungguh benar-benar
tidak ada hubungannya dengan kesuksesan di akhirat nanti. Sekian
unek-unek saya, terima kasih karena telah membagi waktu Anda untuk
membaca tulisan yang tidak penting ini. Sampai jumpa di kotoran pikiran
saya selanjutnya!
Salam,
Monyet Pendek
No comments:
Post a Comment