Menunggu senja. Aku menatap
bayangan diriku pada sebuah cermin. Sosok yang aku pikir aku mengenalnya dengan
baik. Aku menatap bayangan diriku yang juga menatapku tanpa bergeming.
Tatapannya mengisyaratkan dia mengerti pribadiku.. Memahami lakuku. Namun aku
tidak mengenal jiwanya.. Tidak mengerti keinginan hati kecilnya.. Dan tidak
juga memahami jalan pikirannya. Waktu pun bergulir, terus mengalir tanpa kami
sadari. Detik demi detik berlalu tanpa ada sebuah reaksi. Hingga di suatu
titik, dia bertanya kepadaku.
Sit still, till the sun goes
down. I’m staring the reflection of mine at he mirror. The existence that I
thought I knew him well. I’m staring at my reflection who is also staring at me
in silence. His eyes show that he knew my personality. Understand my behavior.
Yet his soul is a mystery. His desire is unknown.. And his thought is unrevealed.
Time goes by, keep flowing without any of us notice. Second by second passes by
without any reaction. Till it reach the point when he asked me a question.
“Mengapa tatapanmu
kosong dan tanpa arah?”
“Why do you have that
empty and pointless gaze upon your eyes?”
Aku menjawab, “Entahlah.. Aku pun
tidak mengerti.”
I said, “I don’t know.. I do not understand either.”
”Adakah yang
menyulitkan hatimu?”
“Is there something
weighing on your mind?”
“Mungkin ada.. Yang jelas aku tidak
bahagia.”
“Might be.. All I know is I am not
happy.”
“Apakah yang membuatmu
tidak bahagia?”
“What makes you
unhappy?”
“Mimpi semu.. harapan kosong.. dan
tuntutan hidup! Semua terasa mustahil
dan sungguh membebani.”
“Empty dream.. Empty hope.. and the
needs of life! All of that is impossible and so weighing my heart.”
“Tidak! Tidak ada yang
mustahil.. Engkau tahu akan hal itu. Sebenarnya, apa yang engkau inginkan?”
“No! Nothing is impossible.
You know that. Frankly, what do you want?”
“Entahlah, aku pun tak seberapa
mengerti apa yang kuinginkan..”
“I’m not sure, I may not fully
understand what I want either.”
“Apakah kekayaan?”
“Is it wealth?”
“Mungkin..”
“Possibly..”
“Kehormatan? Ketenaran?
Kedudukan? Wanita! Apakah semua itu?”
“Honour? Fame? Social
acknowledgement? Women! Is that all?”
“Ya.. mungkin! Apapun itu, asalkan
bisa membuatku bahagia.”
“Yeah.. maybe! Whatever it is, as
long as it can make me happy.”
“Jadi, yang engkau inginkan
hanyalah sesuatu yang disebut ‘kebahagiaan’?”
“So, all the things
that you’ve ever wanted is the little thing called ‘Happiness’?”
“Ya! Tiada hal yang lebih
kuinginkan dari pada bahagia. Bahagia ketika aku bisa menikmati kemewahan
hidup, bahagia ketika aku hidup ditemani dengan orang yang aku cintai, dan
bahagia ketika aku bisa diterima di kehidupan sosial.”
“Yeah! There is nothing more that I
want but happiness. Happy when I can enjoy the wealth of life, happy when I can
live my life with the woman I love, and happy when people acknowledge my
existence. “
“Hahahahahaha.. Naif!
Sungguh naïf..”
“Hahahahahaha.. Naïve!
So naïve..”
“Mengapa engkau tertawa? Bukankah
itu hal yang wajar?”
“Why are you laughing? Isn’t that common?”
“Ya, itu sangat wajar.
Sungguh amat manusiawi. ‘Aku Ingin Kebahagiaan’! Itu kan yang engkau mau? Aku mampu memberikannya
padamu..”
“Yes, that’s common.
It makes sense, indeed. ‘I want Happiness’! That’s what you want, no? I can
give it to you..”
“Sungguh? Bagaimana caranya agar aku
mendapatkannya?”
“Really? What should I do?”
“Engkau benar-benar
ingin tahu?”
“Do you really want to
know?”
“Ya, katakanlah padaku..”
“Yes, please tell me..”
“Baiklah.. Pertama, engkau harus membuang kata ‘Aku’ dari ‘Aku Ingin
Kebahagiaan’ karena itu merupakan keegoisan. Sikap egois hanya akan semakin
menjauhkanmu dari kehormatan dan ketenaran. Bukankah tadi engkau katakan bahwa
engkau [akan] bahagia apabila engkau bisa diterima di kehidupan sosialmu?
Membuang sikap egois bukan berarti membuang harga diri. Harga diri adalah
sebuah pengakuan orang lain akan keberadaan dirimu. Aku tahu bahwa pengakuan
dari orang lain adalah bagian dari hakmu
sebagai manusia. Karena itu, buanglah sikap egoismu tetapi jangan harga dirimu.
Pertahankan harga dirimu tanpa menggunakan
keegoisanmu. Tidaklah mudah memang. Namun tidaklah juga mustahil dilakukan,
hanya perlu kedewasaan sikap. Salah satu cara menyikapinya adalah berikanlah
pengampunan! Ketika orang melukai harga dirimu, ampunilah. Meski sakit, tapi
aku yakin engkau mampu menahannya. Jika engkau merasa tak mampu menahan
pedihnya, ingatlah bahwa dirimu bukanlah milikmu seutuhnya, melainkan milik
Penciptamu. Dengan demikian, engkau menyadari bahwa harga yang engkau pasang
atas dirimu sudah dibayar oleh Sang Pemilik.
“Okay.. First of all, you have to throw away the ‘I’ from ‘I Want Happiness’ because it is selfishness. Selfishness will only drag you farther from honor and fame. You said that you [will be] happy if your existence can be acknowledged, did you not? Throwing away selfishness doesn’t mean throwing your self-esteem away. Self-esteem is one’s acknowledgment of your existence. I knew that one’s acknowledgment is a part of your right as mere human. So, throw away your selfishness but not your self-esteem. Defend your pride without your selfishness. It’s not easy, and never will it. Yet neither is impossible, only need a mature attitude. One of them is giving forgiveness! When people hurt your pride, forgive them. Though it hurts, but I believe you can endure it. If you think you couldn’t endure the pain, just remember that your being is no longer yours, but your Creator’s. Thus, you realize that the price you tagged on your life has been fully paid by the Owner.
Kedua, engkau juga harus membuang kata ‘Ingin’ dari ‘Aku Ingin
Kebahagiaan’ karena itu merupakan nafsu. Nafsu hanya akan mengikatmu dan
menjadikanmu hambanya. Engkau mungkin mampu mendapatkan kekayaan, bahkan wanita
yang engkau mau. Tapi engkau akan kehilangan harga dirimu. Engkau kaya, namun
engkau tak merdeka. Engkau dapat hidup bersama wanita yang engkau inginkan,
namun engkau tak kan pernah mendapat ketulusan darinya. Nafsumu akan membuatmu
terus berlari hingga engkau kehabisan tenaga dan menjadi lelah. Engkau akan
kehabisan waktu tanpa sempat menikmati
apa yang engkau punya. Sebab engkau terlalu sibuk mengejar nafsumu, namun lupa
bahwa waktumu hanya seperti rerumputan di ladang, yang hari ini tumbuh dan
berbunga, dan keesokan harinya dicampakkan ke dalam api. Nafsu adalah keinginan
yang tak terkendali. Oleh karena itu, kendalikanlah inginmu sehingga luruslah
jalanmu. Aku tahu bahwa engkau tak akan pernah mampu mengendalikan inginmu.
Tapi aku tahu cara untuk mengendalikannya. Engkau akan mampu mengendalikan
inginmu apabila engkau menyerahkannya kepada Pemilikmu. Sebab Dia yang berkuasa
atasmu, Dia yang bertanggung jawab atasmu, dan Dia juga yang menjaga hidupmu.
Karena bagiNya, engkau sungguh amat berharga."
Second of all, you have to throw away the word ‘Want’ from “I Want Happiness’ because it is lust. Lust will only tie you tight and enslave you. You might have the wealth of the world, even all of the women you want. But you will lose your self-esteem. You would be rich, but lost your freedom. You could live with the woman you’ve ever wanted to live with, but you would never get her sincerity. Your lust will keep you running till you drop and so tired. Your time is running out but you don’t have time to enjoy every thing you have. Because you were so busy satisfying your lust, but forgetting that your time is just like grass in the field, which grown and bloom today, and thrown away into the burning fire the day after. Lust is an uncontrolled will. Therefore, control your will, thus your way will be straightened. I know that you are going to fail and could not ever control your will. But I also know how to control the will. You could control your will if you put it in the hands of your Owner. Because He is the Mighty one, the One who responsible for you, and also take care of you. Because for Him, you are too precious."
Sekarang, apakah yang
tersisa bagimu jika engkau membuang kedua kata itu?”
Now, what is left for
you if you put those two words away?”
“Kebahagiaan..”
“Happiness..”
“Jadilah kebahagiaan
itu milikmu.”
“That will be yours..”
Sambil tersenyum, ia menatapku
yang menitikkan air mata. Aku pun berlalu daripadanya dengan kelegaan di
dadaku. Dalam pikiranku, aku mendengar diriku sendiri mengatakan, “Aku
bahagia!”
Smiling, he saw me weeping. I went away from him with a great relief in my chest. In my mind, I hear my self saying, “I am happy!”
Salam,
Regard,
Monyet Pendek
No comments:
Post a Comment