Sunday, April 13, 2014

A Night in Eiffel Garden

Senja itu, langit cerah tak berawan. Semburat lembayung menggantung di langit jingga. Desiran angin musim gugur yang dingin mengiringi tiap langkahku menuju ke sebuah taman di jantung kota Paris. Daun-daun maple berguguran, berhamburan layaknya bintang jatuh. Jingga keemasan, seolah menyatu dengan latar belakang langit senja. Aku mengeratkan syal yang melingkar di leherku dan kemudian memasukan tanganku ke saku jaketku. Aku melangkah cepat namun mantap ke tempat aku akan bertemu dengannya sore itu.

Dia telah menanti disana. Berdiri menatap Eiffel yang berdiri gagah menantang langit senja. Dibalut dengan mantel beludru hitam, dia tampak seanggun menara yang ditatapnya. Rambutnya yang hitam selembut sutera dibiarkannya terurai, tersapu oleh hembusan angin. Sejenak aku menghentikan langkahku, menatap keindahannya, kemudian berjalan perlahan menghampirinya.


“Hei, maaf atas keterlambatanku..” Seruku.

“Oh! Hei..”, sekilas menatap arlojinya ia berkata, “Ah.. tidak.. kamu tidak telat ‘kok. Just in time!”

“Ah, syukurlah kalau begitu! Jadi, kemana kita akan pergi sekarang?” Tanyaku.

Tampak berfikir sejenak, ia kemudian berkata, “Kita akan makan malam dahulu di tempat favoritku, baru kemudian bawa aku ke tempat favoritmu.”

“Baiklah..” sahutku.

Kami melangkahkan kaki menuju sebuah restoran tidak jauh dari Eiffel tower. Sebuah restoran kecil di sudut blok dengan pemandangan jalan kota Paris yang menakjubkan. Bunga-bunga artifisial menghiasi pagar kayu semi permanen yang membatasi restoran dan pedestrian. Lampu kelap-kelip pun turut menghiasi restoran tersebut, membuat suasana senja itu menjadi semakin meriah. Kami pun menuju ke sudut restoran, dimana terdapat sebuah meja dan dua kursi yang dinaungi oleh langit terbuka. Sebuah lilin kecil dengan apinya sesekali bergoyang turut menebarkan pendar cahaya keemasannya, menghangatkan suasana malam itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri kami dan kami pun memesan menu makan malam untuk saat itu.

Lagu demi lagu pun berlalu, sembari kami menikmati makan malam kami saat itu. Segelas red wine pun disajikan sebagai penutup makan malam. Di sela-sela momen makan malam kami, kami mengisinya dengan obrolan ringan disertai dengan candaan kecil..

“Jadi, sudah berapa lama ya kita tidak bertemu, Mike?” tanyanya.

“Entahlah, sekitar dua tahun lalu mungkin.” Jawabku singkat karena merasa canggung menerima tatapan matanya.

“Ah, ya! Aku ingat.. Saat pesta kelulusanmu. Kita dan teman-teman dan Henri juga.” Serunya, seraya menerawang ingatannya sendiri, membayangkan saat itu.

“Ya, saat pesta perpisahanku dengan kalian semua. Sungguh momen yang tak terlupakan.” Sambutku.

“Apakah kamu ingat, jika malam itu Henri menyatakan cintanya padaku, Mike?” tanyanya.

“Ya, aku  ingat, kamu mengatakan padaku keesokan harinya. Jadi bagaimanakah hubunganmu dengannya, Sofia?” lanjutku.

“Maksudmu? Kamu tahu kan Mike?”, Tanya dia balik kepadaku.

Well, yah.. aku cukup tau semua, karena kamu tidak pernah absen mengabariku tentang segala yang terjadi dalam hubungan kalian. Mulai dari bunga-bunga yang dikirimkannya padamu, puisi-puisi romantis yang ditulisnya untukmu, hingga cerita saat kamu melihatnya bersama dengan wanita lain.” Jelasku. “Jadi, masihkah?”

“Kami masih bertemu.. Sesekali..” jawabnya pendek.

Aku membiarkannya menerawang jauh dalam memorinya. Membiarkannya sejenak larut dalam perasaannya. Menatap sinar di matanya. Mencoba mengenali perasaannya. Ingin ku memegang tangannya dan berkata semua akan baik-baik saja. Namun itu semua tertahan di benakku. Dengan senyuman, aku menariknya kembali dari lamunannya, mengajaknya melangkah kembali untuk menikmati malam musim gugur di kota Paris malam itu.

Sofia terus berjalan di sampingku sambil terus bercerita tentang masa-masa yang telah lalu. Masa dimana kami dan teman-teman masih bersama-sama, menghabiskan waktu melihat-lihat dunia. Masa dimana kami semua masih memiliki mimpi liar untuk menjelajah dunia. Masa dimana aku dan dia menghabiskan masa kecil kami di sebuah desa kecil di tepi kota Paris. Sementara dia bercerita, aku hanya tersenyum dan tertawa sembari menimpali ceritanya. Hingga Sofia tiba-tiba merangkul lengan kiriku, menyandarkan kepalanya di bahuku. Sesaat aku terpaku, kemudian kami berbelok menuju sebuah bangku taman di sekitar Eiffel.

So, tell me why do you like this place the most, Mike? Maksudku.. ini cuma taman biasa kan?” tanya Sofia padaku.

Well, it is and it will always be. But not in my opinion, dear Sofia. Ini memang hanya sebuah taman. Dan tempat kita berada sekarang ini memanglah bukan tempat istimewa yang jarang diketahui orang. Tapi tidak bagiku. Kamu mungkin tahu, bahwa taman ini sudah ada sejak kita kecil kan? Entah kamu sadari atau tidak, bangku ini pun sudah ada sejak saat itu, atau bahkan mungkin lebih lama lagi. Di bangku inilah aku sering menghabiskan hariku sebelum kamu pindah ke lingkungan masa kecil kita. Di bangku ini aku pertama kali bertemu denganmu. Di bangku ini aku merasa menjadi seorang filsuf besar saat aku menatap keindahan langit malamnya. Dan di bangku yang tak memiliki sandaran ini juga aku menyimpan semua kenangan dan membuat impian dan harapanku.” Jawabku dengan penuh keyakinan.

“Wow! Aku tak pernah menyangka kamu memiliki banyak memori di tempat ini Mike. Mike, bukankah di kursi ini juga kita sering mengerjakan tugas sekolah kita dulu? Di kursi ini juga kamu membalut luka di kakiku setelah aku terjatuh saat bermain di taman ini. Iya kan?”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Aku memalingkan wajahku darinya dan menatap indahnya langit malam itu. Langit biru pekat bertaburan kerlipan bintang-bintang. Cahaya lampu taman yang temaram tak mampu mencapai tempat kami seutuhnya. Sehingga kilauan bintang dan pendar bulan pucat pun tampak jelas terlihat oleh mata. Sofia berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan melintas dihadapanku memutari kursi, dan duduk di sisi lain kursi. Ia menyandarkan dirinya di bahuku seraya bertanya apa yang aku lihat.

“Tampakanya kamu sudah mengerti esensi bangku ini diciptakan ya, Sofia..” kataku.

“Apa memangnya? Aku nggak ngerti..” bantahnya.

“Tidak tahu kah kamu bahwa agar bisa nyaman duduk di bangku ini, seseorang harus berbaring, atau bersandar satu sama lain? Dengan demikian kita dapat menikmati indahnya Eiffel dan langitnya tanpa lelah.” Jelasku.

“Mike, aku mengenalmu lama sekali. Kamu sudah seperti keluarga bagiku. Kamu seperti kekasih saat aku butuh perhatian dan kasih sayang. Seperti kakak saat aku butuh perlindungan. Seperti adik saat aku sedang ingin bercanda. Kamu adalah sahabat terbaikku untuk berbagi. Tapi saat ini aku seperti berbicara dengan orang yang lain. Mike yang berbeda dari Mike yang ku kenal. Kamu saat ini penuh misteri. Tapi aku suka..” lanjutnya sambil tersenyum.

“Sofia, sebenarnya ada rahasia yang ingin kukatakan padamu saat ini. Rahasia yang tertutup rapat, yang tak seorang pun mengetahuinya selain diriku sendiri. Sepuluh tahun lalu, persis di waktu seperti ini, aku berbaring di kursi ini menatap langit. Saat itu langit begitu cerah, sehingga tampak jelas terlihat olehku bintang-bintang berjatuhan. Orang bilang, jika kita memohon saat melihat bintang jatuh, maka permohonan kita akan terkabul. Dan saat itu pun, aku tak mengucapkan permohonanku. Karena aku seorang pengecut. Aku takut permohonanku terdengar orang lain, dan aku takut menjadi cemoohan orang. Yang mampu aku lakukan hanyalah menggoreskan sebuah kalimat pada bagian bawah kursi ini. Sofia, saat ini maukah kau melihat bagian bawah kursi sebelah kiri sisimu?” pintaku.

Sofia pun bangkit dari duduknya dan bertelut dengan kedua lututnya untuk melihat hal itu. Di bawah kursi itu tampak sebuah ukiran kasar yang mulai pudar, berbunyi

’Sofia, let me be yours. –Mike-‘.

Sofia tampak terpaku, lalu kembali duduk di belakangku, namun tak lagi menyandarkan dirinya di bahuku.

“Aku tahu aku bersalah padamu karena menunjukkan hal itu kepadamu. Tapi.. Aku tak mampu menahan rasa ini lagi di dadaku. Aku sedih setiap kali kamu terluka, bahagia ketika engkau bahagia. Tapi aku cemburu saat kamu katakan kamu bahagia bersama Henri. Kamu mungkin tak tahu bahwa saat pergi meninggalkanmu di sini adalah hal terberat untuk ku lakukan. Bahkan lebih berat lagi saat kamu menerima cinta Henri. Aku coba untuk mengisi hari-hariku dengan kesibukan di tempat aku bekerja di Amerika. Namun aku tetap tidak mampu. Aku mencoba untuk menggantikan kamu dengan cinta yang lain namun aku tak bisa. Sofia, kumohon maafkan aku karena pengakuanku ini.

Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Sofia..

Aku tahu aku sedang memutuskan tali persahabatan kita dan mencoba menggantinya dengan tali kasih. Aku pun paham risikonya bahwa ketika tali persahatan itu putus, maka sekalipun dapat disambung, tali tersebut tidak akan pernah sama.” aku ku pada Sofia. Aku terdiam, menunggu responnya.

Sofia hanya terdiam, menengadah menatap langit malam. Kedua tangannya menjadi tempatnya bertumpu. Masih terdiam, tampak tidak bergeming.

“Sofia, terima kasih ya, sudah mendengarkan pengakuanku. Aku sungguh tak berharap kamu mengerti. Kenyataan bahwa kamu tahu kebenarannya pun sudah menjadi hal terbaik bagiku. Sofia, dengan Henri atau siapa pun kamu memutuskan akan menghabiskan sisa hidupmu aku rela, asalkan kamu bahagia.” tutupku seraya tersenyum.

Aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung tangan kiriku. Sofia menggenggam tanganku, menyandarkan dirinya kembali padaku sambil bergumam,

“Mengapa baru kamu katakan sekarang, Mike?”

Aku terdiam.

“Kamu tahu, Mike? Dalam hati kecilku, aku selalu tahu akan satu hal, yaitu bahwa kamulah orang yang aku nanti. Kadang ingin aku bertanya padamu untuk memastikan. Namun aku terlalu takut. Aku takut menerima kenyataan bila seandainya aku bukanlah orang yang kamu nanti. Perlahan aku mulai bimbang karena tidak pernah kudapat satupun kepastian darimu. Hingga akhirnya aku menerima permintaan Henri untuk menjadi kekasihnya. Henri adalah kekasih pertamaku. Namun dia bukanlah cinta pertamaku. Dan malam ini aku benar-benar tidak menyangka akan mendengar pengakuan dari dirimu, Mike.”

“Maafkan aku karena baru menyatakannya saat ini. Aku sadar bahwa tidak ada waktu yang benar-benar tepat untuk menyatakannya. Yang ada hanyalah penyesalan ketika aku membuang kesempatan untuk mengatakan hal ini padamu. Aku tidak mau selamanya hidup dalam penyesalan. Karena itu jugalah, aku memberanikan diriku menyatakan hal tersebut padamu. Jadi.. Maukah kau menerima cintaku, Sofia?”

Sofia berbalik menatap wajahku. Dengan senyuman merekah di bibir tipisnya, ia mengangguk perlahan mengiyakan permintaanku. Kemudian sofia menjatuhkan dirinya dalam pelukanku. Aku memeluknya erat, mengecup keningnya, kembali menatap langit malam sejenak sambil bergumam..

“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah menjawab doaku.”

-fin.-

mattkecebong
Terbanggi Besar, October 22nd, 2013

No comments:

Post a Comment