Thursday, April 17, 2014

Moto: Sebuah Sarana Eksistensi Diri

Beberapa waktu yang lalu, seseorang sempat bertanya kepada saya,

"Matt, motonya bagus. 'We Live, We Fight, We Survive'. Kutipan dari siapa?"

Dia bertanya demikian setelah membaca status pada akun saya di salah satu media sosial. Saya hanya tersenyum [lebih tepatnya tersenyum secara literal* tentunya, dengan simbol : dan )], dan menjawab [secara literal* lagi, lebih tepatnya mengetik],

"Bukan kutipan dari siapa-siapa, itu saya buat sendiri. Kalo suka, boleh pake juga kok motonya."

*Sarkasme dimulai.. hehehe..

Moto, sebenarnya apa sih moto itu? menurut Wikipedoi, Moto (bahasa Inggris: motto) adalah kalimat, frasa, atau kata sebagai semboyan atau pedoman yang menggambarkan motivasi, semangat, dan tujuan dari suatu organisasi. Pengguna moto biasanya adalah negara, kota, universitas, dan keluarga-keluarga bangsawan. Biasanya moto ditulis dalam bahasa kuno atau daerah di tempat tersebut seperti bahasa Latin atau Perancis di Eropa. Sedangkan untuk di Indonesia dan daerah sekitarnya, moto biasa ditulis dalam bahasa Kawi atau Sanskerta.

Yeah, right.. Keluarga bangsawan! Kalau nasib lo nggak lebih bagus dari nasib gw, nggak usah mimpi punya moto, apalagi ngarep berdarah biru.. Walaupun gw gebukin sampai biru pun nggak bakal mengubah lo jadi bangsawan, crut! #evil smile

Sunday, April 13, 2014

A Night in Eiffel Garden

Senja itu, langit cerah tak berawan. Semburat lembayung menggantung di langit jingga. Desiran angin musim gugur yang dingin mengiringi tiap langkahku menuju ke sebuah taman di jantung kota Paris. Daun-daun maple berguguran, berhamburan layaknya bintang jatuh. Jingga keemasan, seolah menyatu dengan latar belakang langit senja. Aku mengeratkan syal yang melingkar di leherku dan kemudian memasukan tanganku ke saku jaketku. Aku melangkah cepat namun mantap ke tempat aku akan bertemu dengannya sore itu.

Dia telah menanti disana. Berdiri menatap Eiffel yang berdiri gagah menantang langit senja. Dibalut dengan mantel beludru hitam, dia tampak seanggun menara yang ditatapnya. Rambutnya yang hitam selembut sutera dibiarkannya terurai, tersapu oleh hembusan angin. Sejenak aku menghentikan langkahku, menatap keindahannya, kemudian berjalan perlahan menghampirinya.