Hey.. Just wanna share what stuck in my mind..
Latar belakang diambilnya judul diatas adalah karena saya pribadi merasa terusik dengan komentar-komentar dari beberapa orang yang boleh dikata "menilai" -secara negatif- orang lain dari sudut pandang mereka sendiri.
Saya tidak melarang orang untuk berkomentar dari sudut pandangnya sendiri terhadap suatu hal, baik itu komentar positif atau negatif, baik dari sudut pandangnya melalui kacamata religi atau sosial. Kita semua punya hak dan kebebasan yang sama dalam menyalurkan pendapat. Tapi kebebasan itu tidaklah semata-mata mutlak, sebab ada hak orang lain yang juga terlibat didalamnya.
"kalau saja Mbah Marijan mau sedikit lebih rasional, mungkin korban akan bisa diminimalisir"
"si Marijan hanya manusia belaka yang keras kepala dan menjaga gengsi"
"tidak berguna si Marijan.. tidak berguna segala ritual dan sesajennya.."
dan masih banyak lagi..
Komentar-komentar seperti itulah yang mengusik pikiran saya. Mereka berkomentar tanpa berfikir jauh kedepan. Komentar-komentar kosong, tidak membangun, malah justru menghancurkan. Terlebih mereka berfikir bahwa merekalah SANG PENGIKUT TUHAN sejati. Merekalah yang paling benar, pikirnya. Sedangkan Mbah Marijan salah!
Hey! Inikah waktunya kita menyalahkan?? Inikah waktunya kita menghakimi sesama kita?
Dimana tata krama dan sopan santun kita ketika berbicara atau berpendapat? Sehingga bisa seenaknya saja menyebut nama orang yang usianya jauh lebih tua dan terlebih sudah tiada dengan sebutan "Si"..
sulit dipercaya..
Okay, mari kita telaah bersama, koreksi jika saya salah.
faktanya, Mbah Marijan memang dipercaya olah Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai "kuncen" atau juru kunci bagi Gunung Merapi.
Bagi suku Jawa, orang yang berprofesi sebagai kuncen adalah orang yang disegani. Mengapa? karena perkerjaan kuncen adalah sebagai "penjaga". Orang yang ditunjuk sebagai kuncen sudah pasti orang-orang yang dianggap "kuat" atau "hebat". Hal tersebut lebih mengarah kepada kuat secara batiniah. Kuncen tentunya memiliki kemampuan supranatural, karena pekerjaan sebagai kuncen memang tidaklah luput dari hal-hal mistik. Ritual dan sesaji adalah hal biasa yang dilakukan mereka. Dengan demikian, bagi orang-orang Jawa yang masih menganut "kejawen", pekerjaan kuncen adalah pekerjaan yang dapat dikatakan mulia dan bergengsi.
Pertanyaannya adalah:
"Egokah Mbah Marijan, sehingga beliau menolak ajakan evakuasi yang pada akhirnya memgakibatkan beliau meninggal? Salahkah Beliau?"
Bagi sebagian orang yang berpandangan melalui kacamata sosial, beliau dikatakan sebagai orang yang egois! Karena mereka berpendapat bahwa Mbah Marijan takut kehilangan gengsinya sebagai kuncen Merapi. "Apa dikata orang nanti kalo Mbah Marijan turun? beliau mungkin sudah kehilangan kekuatannya." Mbah Marijan bagi orang-orang seperti ini dipandang sebagai sosok yang egois, yang mementingkan kepentingan duniawi daripada keselamatan nyawanya.
Bagi sebagian orang yang berpandangan melalui kacamata religi, beliau dikatakan sebagai orang yang murtad! Karena mereka beranggapan bahwa Mbah Marijan masih menyembah pada roh-roh gaib, masih melakukan ritual-ritual dan sesaji guna mencegah meletusnya Merapi. Mereka seakan menertawakan beliau karena mereka beranggapan meninggalnya beliau disebabkan oleh hukuman Tuhan bagi orang-orang yang murtad.
Saya tidak mengatakan pendapat mereka salah, tapi apakah pantas berpendapat seperti itu? Bukankah itu bukan urusan mereka? Bercerminlah.. apakah benar Tuhan yang diagungkan kita semua hanya satu? Bagaimana dengan uang kita? Kekayaan kita? Jabatan kita? Janganlah kita menyalahkan beliau karena memang beliau menduakan Tuhan, masih percaya pada hal-hal gaib. Sedangkan kita sendiri mengaku bahwa kita hanya percaya pada satu Tuhan, namun masih mementingkan harta dan jabatan diatas segalanya.
Dan bagi mereka yang masih bimbang dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan Mbah Marijan enggan mengikuti evakuasi, saya punya jawabannya. Mungkin kurang tepat, karena saya sendiri menduga. Mbah Marijan lah yang tau pastinya. Jawabannya adalah KESETIAAN. Di atas saya telah mencantumkan bahwa Mbah Marijan ditunjuk sendiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai kuncen Merapi. Mbah Marijan adalah seorang "abdi dalem" kraton, dimana seorang "abdi dalem" dikenal sebagai sosok yang setia pada Sang Raja (Sri Sultan). Bagi beliau, mematuhi titah raja adalah kewajiban! mutlak dan merupakan suatu kehormatan besar yang harus dijaga, jika perlu nyawa menjadi taruhannya. Bagaimana tidak, jika saya dan anda mendapat kepercayaan langsung dari Sekjen PBB, atau Pak SBY lah mudahnya, apa iya kita main-main dalam menjalankan perintah beliau? Kemungkinan yang terjadi adalah saya dan anda berusaha mati-matian menjalankan perintah itu. Biarpun sampai nungging-nungging, jungkir balik, namun asalkan tugas selesai dan kita mendapatkan kepercayaan Pak SBY, apapun direlakan. Begitu juga dengan beliau (Mbah Marijan), beliau bukanlah egois, bukan juga atheis atau murtad. Beliau hanyalah seorang yang mencoba setia, setia sampai mati. (Sama halnya dengan Papa J, setia sampai mati kepada Bapa)
Sedikit informasi, Indonesia bukanlah suatu bangsa baru! kebudayaan Indonesia telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Indonesia bukanlah bangsa tak berTUHAN! Buktinya, sebelum mengenal ajaran agama, dinamisme dan animisme telah ada terlebih dahulu. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mengenal adanya dewa-dewa yang memiliki kuasa atas mereka. Seiring dengan kemajuan peradaban, maka manusia mulai berfikir dan mengenal Tuhan. Sejalan dengan hal itu, agama mulai berkembang, yang ditandai dengan masuknya ajaran Hindu-Budha, kemudian Islam, Kristen dan Katholik. Proses masuknya agama ke tengah-tengah masyarakat sehingga bisa diterima dengan baik olrh masyarakat tentunya tidak mudah. Agama harus menjalani proses akulturasi terlebih dahulu. Akulturasi adalah sebuah proses pemaduan antara kebudayaan baru dan kebudayaan lokal. Singkat kata, agama yang bisa berkembang baik dan pesat adalah agama yang bisa diterima oleh masyarakat karena dapat berpadu dengan baik dengan kebudayaan setempat. Dalam kasus ini, Mbah Marijan dan sebagian masyarakat Jawa yang menganut "Kejawen" adalah contoh-contoh hasil akulturasi tersebut. Untuk itu, hargailah keragaman budaya Indonesia yang ada.
Sosok Mbah Marijan adalah sosok yang patut dikagumi dan diteladani kesetiaannya. Beliau mengajarkan pada kita apa itu arti sebuah kesetiaan, hormat, dan harga diri.
Janganlah biarkan noda yang setitik itu mencemari hal-hal baik yang ada pada diri seseorang.
salam,
Mathias
Latar belakang diambilnya judul diatas adalah karena saya pribadi merasa terusik dengan komentar-komentar dari beberapa orang yang boleh dikata "menilai" -secara negatif- orang lain dari sudut pandang mereka sendiri.
Saya tidak melarang orang untuk berkomentar dari sudut pandangnya sendiri terhadap suatu hal, baik itu komentar positif atau negatif, baik dari sudut pandangnya melalui kacamata religi atau sosial. Kita semua punya hak dan kebebasan yang sama dalam menyalurkan pendapat. Tapi kebebasan itu tidaklah semata-mata mutlak, sebab ada hak orang lain yang juga terlibat didalamnya.
"kalau saja Mbah Marijan mau sedikit lebih rasional, mungkin korban akan bisa diminimalisir"
"si Marijan hanya manusia belaka yang keras kepala dan menjaga gengsi"
"tidak berguna si Marijan.. tidak berguna segala ritual dan sesajennya.."
dan masih banyak lagi..
Komentar-komentar seperti itulah yang mengusik pikiran saya. Mereka berkomentar tanpa berfikir jauh kedepan. Komentar-komentar kosong, tidak membangun, malah justru menghancurkan. Terlebih mereka berfikir bahwa merekalah SANG PENGIKUT TUHAN sejati. Merekalah yang paling benar, pikirnya. Sedangkan Mbah Marijan salah!
Hey! Inikah waktunya kita menyalahkan?? Inikah waktunya kita menghakimi sesama kita?
Dimana tata krama dan sopan santun kita ketika berbicara atau berpendapat? Sehingga bisa seenaknya saja menyebut nama orang yang usianya jauh lebih tua dan terlebih sudah tiada dengan sebutan "Si"..
sulit dipercaya..
Okay, mari kita telaah bersama, koreksi jika saya salah.
faktanya, Mbah Marijan memang dipercaya olah Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai "kuncen" atau juru kunci bagi Gunung Merapi.
Bagi suku Jawa, orang yang berprofesi sebagai kuncen adalah orang yang disegani. Mengapa? karena perkerjaan kuncen adalah sebagai "penjaga". Orang yang ditunjuk sebagai kuncen sudah pasti orang-orang yang dianggap "kuat" atau "hebat". Hal tersebut lebih mengarah kepada kuat secara batiniah. Kuncen tentunya memiliki kemampuan supranatural, karena pekerjaan sebagai kuncen memang tidaklah luput dari hal-hal mistik. Ritual dan sesaji adalah hal biasa yang dilakukan mereka. Dengan demikian, bagi orang-orang Jawa yang masih menganut "kejawen", pekerjaan kuncen adalah pekerjaan yang dapat dikatakan mulia dan bergengsi.
Pertanyaannya adalah:
"Egokah Mbah Marijan, sehingga beliau menolak ajakan evakuasi yang pada akhirnya memgakibatkan beliau meninggal? Salahkah Beliau?"
Bagi sebagian orang yang berpandangan melalui kacamata sosial, beliau dikatakan sebagai orang yang egois! Karena mereka berpendapat bahwa Mbah Marijan takut kehilangan gengsinya sebagai kuncen Merapi. "Apa dikata orang nanti kalo Mbah Marijan turun? beliau mungkin sudah kehilangan kekuatannya." Mbah Marijan bagi orang-orang seperti ini dipandang sebagai sosok yang egois, yang mementingkan kepentingan duniawi daripada keselamatan nyawanya.
Bagi sebagian orang yang berpandangan melalui kacamata religi, beliau dikatakan sebagai orang yang murtad! Karena mereka beranggapan bahwa Mbah Marijan masih menyembah pada roh-roh gaib, masih melakukan ritual-ritual dan sesaji guna mencegah meletusnya Merapi. Mereka seakan menertawakan beliau karena mereka beranggapan meninggalnya beliau disebabkan oleh hukuman Tuhan bagi orang-orang yang murtad.
Saya tidak mengatakan pendapat mereka salah, tapi apakah pantas berpendapat seperti itu? Bukankah itu bukan urusan mereka? Bercerminlah.. apakah benar Tuhan yang diagungkan kita semua hanya satu? Bagaimana dengan uang kita? Kekayaan kita? Jabatan kita? Janganlah kita menyalahkan beliau karena memang beliau menduakan Tuhan, masih percaya pada hal-hal gaib. Sedangkan kita sendiri mengaku bahwa kita hanya percaya pada satu Tuhan, namun masih mementingkan harta dan jabatan diatas segalanya.
Dan bagi mereka yang masih bimbang dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan Mbah Marijan enggan mengikuti evakuasi, saya punya jawabannya. Mungkin kurang tepat, karena saya sendiri menduga. Mbah Marijan lah yang tau pastinya. Jawabannya adalah KESETIAAN. Di atas saya telah mencantumkan bahwa Mbah Marijan ditunjuk sendiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai kuncen Merapi. Mbah Marijan adalah seorang "abdi dalem" kraton, dimana seorang "abdi dalem" dikenal sebagai sosok yang setia pada Sang Raja (Sri Sultan). Bagi beliau, mematuhi titah raja adalah kewajiban! mutlak dan merupakan suatu kehormatan besar yang harus dijaga, jika perlu nyawa menjadi taruhannya. Bagaimana tidak, jika saya dan anda mendapat kepercayaan langsung dari Sekjen PBB, atau Pak SBY lah mudahnya, apa iya kita main-main dalam menjalankan perintah beliau? Kemungkinan yang terjadi adalah saya dan anda berusaha mati-matian menjalankan perintah itu. Biarpun sampai nungging-nungging, jungkir balik, namun asalkan tugas selesai dan kita mendapatkan kepercayaan Pak SBY, apapun direlakan. Begitu juga dengan beliau (Mbah Marijan), beliau bukanlah egois, bukan juga atheis atau murtad. Beliau hanyalah seorang yang mencoba setia, setia sampai mati. (Sama halnya dengan Papa J, setia sampai mati kepada Bapa)
Sedikit informasi, Indonesia bukanlah suatu bangsa baru! kebudayaan Indonesia telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Indonesia bukanlah bangsa tak berTUHAN! Buktinya, sebelum mengenal ajaran agama, dinamisme dan animisme telah ada terlebih dahulu. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mengenal adanya dewa-dewa yang memiliki kuasa atas mereka. Seiring dengan kemajuan peradaban, maka manusia mulai berfikir dan mengenal Tuhan. Sejalan dengan hal itu, agama mulai berkembang, yang ditandai dengan masuknya ajaran Hindu-Budha, kemudian Islam, Kristen dan Katholik. Proses masuknya agama ke tengah-tengah masyarakat sehingga bisa diterima dengan baik olrh masyarakat tentunya tidak mudah. Agama harus menjalani proses akulturasi terlebih dahulu. Akulturasi adalah sebuah proses pemaduan antara kebudayaan baru dan kebudayaan lokal. Singkat kata, agama yang bisa berkembang baik dan pesat adalah agama yang bisa diterima oleh masyarakat karena dapat berpadu dengan baik dengan kebudayaan setempat. Dalam kasus ini, Mbah Marijan dan sebagian masyarakat Jawa yang menganut "Kejawen" adalah contoh-contoh hasil akulturasi tersebut. Untuk itu, hargailah keragaman budaya Indonesia yang ada.
Sosok Mbah Marijan adalah sosok yang patut dikagumi dan diteladani kesetiaannya. Beliau mengajarkan pada kita apa itu arti sebuah kesetiaan, hormat, dan harga diri.
Janganlah biarkan noda yang setitik itu mencemari hal-hal baik yang ada pada diri seseorang.
salam,
Mathias
mbah marijan terkenal sampe ke US!!!! LOL.
ReplyDeleteokay, slow to judge, easy to love..
:)
ough!! nooo.. lol
ReplyDeleteyep! that's right..
;)